(Ajaran Kearifan Lokal ditengah Terpaan Jaman)
Bunter, merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Sukadana, Kabupaten Ciamis, dengan berbagai keunikannya. Desa ini tidak hanya terkenal sebagai desa terluas di Kecamatan Sukadana, tetapi juga dikenal sebagai desa dengan jumlah situs cagar budaya terbanyak. Salah satu keunikan yang terdapat di Desa Bunter adalah adanya toleransi agama yang tinggi. Di Desa Bunter ternyata warganya tidak semua beragama Islam, ada sebagian kecil yang Non Muslim atau kalau dalam catatan kependudukan disebut dengan Aliran Kepercayaan. Para penganut Aliran Kepercayaan tersebut berada di Dusun Cimacan dan Dusun Cikondang, Desa Bunter Kecamatan Sukadana Kabupaten Ciamis.
Untuk mengetahui mengenai agama yang mereka anut kami berwawancara dengan salah satu sesepuh yang bernama Bapak Momon. Beliau menerangkan jika mereka memegang kepercayaan terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa, yang tak berwujud, atau disebut “Sang Hyang Tunggal,” setara dengan “Tuhan Yang Maha Esa” dalam ideologi Pancasila. Bapak Momon lalu menerangkan jika kepercayaan yang mereka anut adalah kepercayaan yang dianut oleh orang Sunda sebelum masuknya ajaran Hindu dan Islam di Indonesia. Agama yang mereka anut berpusat di Cigugur, Kuningan dan dikenal dengan Sunda Wiwitan namun jika diamati secara mendalam terdapat perbedaan antara Sunda Wiwitan Cigugur dengan Sunda Wiwitan yang ada di Kampung Kanékés. Orang asing kerap memanggil agama mereka dengan ADS (Agama Djawa Sunda). Namun para sesepuh kerap menyebut menyebut ajarannya dengan PATCKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang). Sedangkan dalam buku pedoman yang mereka miliki apa yang mereka anut bukanlah agama namun ajaran yang disebut dengan Ajaran Tangtu Tilu.
Ritual dan Upacara dalam Sunda Wiwitan
Menurut bapak Momon, cara beribadah Sunda Wiwitan melibatkan olah rasa tanpa mengenal batas tempat maupun waktu. Keimanan dan ketaatan kepada Tuhan tercermin dalam tindakan sehari-hari dengan aturan adat, bukan melalui hafalan atau penafsiran kitab suci. Ibadahnya diaplikasikan melalui ketaatan terhadap adat dalam kehidupan sehari-hari. Upacara atau hari besar yang sering di peringati dalam penganut Sunda Wiwitan Cigugur adalah Seren Taun. seren yang artinya serah,atau menyerahkan dan Taun yang artinya Tahun, merupakan sarana untuk bersyukur kepada Tuhan atas hasil pertanian dengan harapan mendapatkan keberkahan pada tahun yang akan datang. Upacara adat ini terpusat di Cigugur, Kuningan, dan di selenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung bulan akhir pada sistem penanggalan Sunda. Kegiatan ini biasanya dipusatkan di Pendopo Paseban Tri Panca Tunggal karena merupakan pusat dari ajaran Sunda Wiwitan Cigugur yang didirikan oleh Pangeran Alibassa alias Pangeran Madrais pada tahun 1840. Sekarang pendopo tersebut selain sebagai pusat dari ajaran juga menjadi kediaman Pangeran Barna Alam. Selain itu, terdapat tradisi 9 Mulud juga diperingati sebagai kelahiran leluhur Sunda Wiwitan Cigugur yaitu Pangeran Madrais Alibasa Widjajaningrat, yang merupakan keturunan Sultan Gebang. Meskipun saat ini kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam, ritual Seren Taun masih tetap dijalankan dengan do’a Islami. Upacara adat ini senantiasa menggambarkan nilai-nilai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Gambar: Heni (Bunter) dan rombongannya yang tampil dalam pentas seni Upacara Seren Taun Cigugur Kuningan
Seiring berjalannya waktu eksistensi penganut Sunda Wiwitan kini mengalami penurunan karena tergeser oleh arus modernisasi. Agama sunda wiwitan mulai terlupakan di mata masyarakat Sunda saat ini. Menurut pengakuan Bapak Momon, hanya tersisa 19 orang yang masih memegang kepercayaan Sunda Wiwitan, dan terbagi di beberapa daerah seperti Kawali, Cisaga, Banjar, dan di dusun Cimacan Bunter. Prinsip dasar Sunda Wiwitan melibatkan dua hal, yaitu Cara Ciri Manusia dan Ciri Bangsa, yang menekankan perilaku dan tingkah laku yang baik sesuai adat istiadat. Wejangan seperti “silih asah, silih asih, dan silih asuh” yang di aplikasikan dalam bentuk cinta kasih, tata karma (aturan berperilaku), undak-usuk (etika bersikap), budi daya-daya budi (kreatifitas dan sopan santun berbahasa), wiwaha yuda na raga (sikap bijak dan penuh pertimbangan) seperti yang dianut dalam budaya masyarakat sunda. Terdapat pantangan dalam masyarakat dusun Cimacan yang diungkapkan dalam wejangan “jangan memakan keringat orang lain” yang bermakna jangan memakan hak orang lain.
Toleransi dalam Konteks Sunda Wiwitan
Meskipun Sunda Wiwitan menjadi kepercayaan minoritas, keberadaannya di Bunter mencerminkan toleransi dan kerukunan antar penganut agama Islam sebagai mayoritas dan penganut Sunda Wiwitan sebagai minoritas. Menurut penuturan Bapak Momon, menjaga Sunda Wiwitan di era modern melibatkan adaptasi tanpa mengabaikan tradisi, dimana harus saling beriringan dan seimbang menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Kebijakan ini berbeda dengan Kampung Kanékés atau Baduy Dalam yang tertutup dari perkembangan jaman. Sunda Wiwitan Cigugur hidup lebih terbuka atas perkembangan jaman, masyarakat saling berdampingan dan berbaur, baik aktif terlibat dalam acara keislaman, kegotong-royongan, maupun dalam hal saling tolong menolong.
Dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi, Sunda Wiwitan di Bunter dihadapkan pada tantangan untuk tetap relevan. Keberagaman dalam memeluk agama pada anggota masyarakat Bunter, merupakan bentuk ketaatan yang dilakukan terhadap nilai-nilai dan pandangan hidup yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Agama apapun yang menjadi kepercayaan di dalam masyarakat mengajarkan bahwa, semua hal yang berkaitan dengan pola kehidupan mereka tidak boleh atau pantang untuk diubah. Walau terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang diajarkan oleh kepercayaan ini tetap dijadikan pedoman di kehidupan sehari-hari. Sunda Wiwitan adalah bukti hidup bahwa kearifan lokal bisa menjadi pilar kehidupan yang kuat di tengah terpaan jaman dan arus perubahan.
Penulis: Ani Nurafni, Fitri Agustin, Santi Nur Febriyanti, Savira Audipa, Ahmad Syaehu Muhtarom (SMAN 1 Sukadana)

Gambar : Bapak Momon (tengah) selaku sesepuh Sunda Wiwitan di Desa Bunter