Raden Ema Bratakusumah (Gan Ema), lahir di Ciamis 12 Agustus 1901 dan meninggal dunia pada 1 Agustus 1984. Beliau merupakan salah satu tokoh penting di Tatar Sunda dan pejuang Pergerakan Nasional di Jawa Barat. Gan Ema dikenal sebagai penggerak kemajuan budaya Sunda dan pergerakan nasional pada masanya. Selain sebagai budayawan yang mahir dalam pencak silat, ia juga aktif dalam dunia politik melalui keterlibatannya di berbagai organisasi. Ia berperan besar dalam melestarikan budaya Sunda, membina generasi muda, dan mendirikan surat kabar. Sejak kecil, Gan Ema sudah memiliki minat yang besar dalam dunia jurnalistik.
Sejak berusia 9 tahun, Gan Ema telah mempelajari ilmu bela diri dari ayahnya yang memiliki perguruan pencak silat di Ciamis. Pada tahun 1914, ia melanjutkan pelatihan pencak silat dengan seorang ahli pencak aliran Cimandé di Dayeuhkolot. Kemudian, pada periode 1918-1921 di Batavia, ia belajar kepada seorang pakar aliran ‘ameng pukulan’ dan ‘ameng Sabeni’. Kecintaannya terhadap budaya Sunda mendorong Ema untuk terus mengembara seiring dengan perjuangannya melawan kolonialisme di Nusantara. Bersama Raden Tubagus Umay Martakusumah, Ema mendirikan Paguyuban Seni Budaya “Sekar Pakuan” pada tahun 1933.
Dedikasi Ema terhadap budaya Kasundaan dibuktikan dengan penguasaan berbagai aliran pencak lainnya, seperti ‘Ameng Cikalong’, ‘Ameng Sabandar’, ‘Ameng Suliwa’, dan ‘Ameng Timbangan’, yang dipelajari dari para ahli pencak di Jawa Barat. Di kalangan perguruan pencak, ia dikenal dengan julukan Gan Ema (singkatan dari Juragan) dan dianggap sebagai tokoh serta sesepuh pencak di Jawa Barat hingga akhir hayatnya. Bagi Gan Ema, kependekaran adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan kebudayaan yang luas, yang ditandai oleh integritas dan kemandirian seiring berjalannya waktu. Dalam dunia kependekaran, ia dikenal sebagai tokoh terkenal di Bandung, khususnya dalam membawa maenpo dari Cianjur ke Bandung. Puncaknya, pada tahun 1957, bersama tokoh pencak lainnya, Ema ikut mendeklarasikan Persatuan Pencak Silat Indonesia (PPSI) dan menjadi penasihat organisasi tersebut.
Ema mengabdikan diri di dunia media sebagai bagian dari perjuangannya untuk kemajuan Sunda dan pergerakan Nasional. Ia belajar jurnalistik kepada Haji Agus Salim dan pada 1918–1921, menjadi redaktur surat kabar Pajajaran berbahasa Sunda. Pada 1921, ia mendirikan surat kabar Paguyuban Siliwangi bersama rekannya. Setelah 1945, Ema turut mendirikan Laskar Rakyat yang berperan dalam mengatur pengungsian saat peristiwa Bandung Lautan Api. Sebagai tokoh di Tatar Sunda, ia berperan penting dalam melawan pendudukan NICA dan sekutu, bersama Barisan Banteng dan Barisan Merah. Ema juga membantu membentuk Forum Pamuda Sunda pada tahun 1950-an, bersama tokoh-tokoh seperti Ajam Samsupraja dan Akil Prawiradirdja.
Tidak hanya itu, Gan Ema pun belajar politik dari Dr. Ernest Douwes Dekker bersama tokoh-tokoh seperti Darnasukumah, Bakri Suraatmaja, dan Gatot Mangkupraja di Bandung. Pada 1949-1950, ia aktif di Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bandung. Pandangan politik Gan Ema meliputi: (1) Memajukan bangsa melalui kebudayaan lokal (Sunda), (2) Merdeka dari penjajahan dengan mempersiapkan rakyat untuk berjuang, dan (3) Mendukung federasi atau otonomi luas sebagai bentuk negara Indonesia merdeka. Untuk mencapai itu, ia menekankan pendidikan, pers, dan pencak silat. Pada 1956, bersama Sutisna Senjaya, Supyan Iskandar, dan Otong Kosasih, ia mendirikan surat kabar Kalawarta Kujang untuk mendukung perjuangan Sunda dan Partai Gerakan Pilihan Sunda.
Ema memiliki visi panjang untuk pelestarian lingkungan hidup, khususnya untuk menjaga paru-paru kota Bandung. Salah satu kontribusinya adalah pendirian Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), yang lebih dikenal sebagai Kebun Binatang Bandung. Ema mengambil alih Bandungse Zoological Park (BZP) dengan tenaga, pemikiran, dan hartanya. Selain menjadi sarana hiburan rakyat dan pelestarian flora dan fauna langka, YMT juga berfungsi sebagai situs sejarah perjuangan orang Sunda, karena menjadi tempat berkumpulnya para pejuang Sunda. Setelah Ema wafat, kepengurusan YMT diteruskan oleh adiknya, Ukar Bratakusumah, yang juga merupakan teman seperjuangan dalam pergerakan Nasional. Saat ini, berdiri gagah patung Gan Ema di Kebun Binatang Bandung untuk mengenang jasa-jasanya.
Daftar Sumber:
Abels, Birgit. Austronesian Soundscapes: Performing Arts in Oceania and Southeast Asia. Amsterdam University Press, Amsterdam, 2011.
Ekadjati, Edi S. Raden Ema Bratakusuma: tipe tokoh sejarah lokal: subtema V: biografi tokoh lokal. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1984.
Wilson, Lee. Martial Arts and the Body Politic in Indonesia. KITLV, Leiden, The Netherlands, 2015.