Kang Dedi Mulyadi: “Kata siapa Ciamis intoleran? Ciamis itu justru contoh dari toleransi yang nyata di Indonesia”

Aksi para siswa SMP Negeri 1 Panawangan, Ciamis, yang viral karena berjalan kaki ke sekolah, ternyata menyimpan kisah lebih dari sekadar kedisiplinan. Mereka tidak hanya patuh pada Peraturan Gubernur Jawa Barat yang melarang pelajar membawa kendaraan bermotor ke sekolah, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai luhur yang hidup di lingkungan mereka.

Kisah ini menarik perhatian Kang Dedi Mulyadi, yang kemudian mengundang para siswa tersebut ke Gedung Pakuan sebagai bentuk apresiasi. Dalam pertemuan itu, Kang Dedi menyampaikan kekagumannya, bukan hanya pada semangat para siswa, tetapi juga pada keberagaman yang mereka wakili.

“Dan yang paling menarik di SMPN 1 Panawangan ini adalah orang berpikir semuanya agamanya Islam, ternyata ada yang Protestan, ada yang Sunda Wiwitan. Salah satu kampungnya adalah Kampung Susuru, Desa Kertajaya, Kecamatan Panawangan. Kampung tersebut merupakan kampung toleran, Dimana disana ada muslimnya mayoritas tapi ada Kristen, ada Protestan, ada Katolik, ada Wiwitan. Jadi, semangat toleransi dijalankan oleh anak-anak yang berjalan kaki ini.”  ujar Kang Dedi.

Harmoni dalam Keberagaman

Kampung Susuru menjadi contoh nyata bagaimana keragaman dapat hidup berdampingan dengan damai. Mayoritas warga memang beragama Islam, namun kampung ini juga menjadi rumah bagi umat Katolik, Protestan, serta penganut ajaran Sunda Wiwitan. 

Sebanyak 423 kepala keluarga hidup rukun dalam suasana yang saling menghargai. Kegiatan sosial seperti gotong royong, pembangunan fasilitas umum, hingga menjaga kebersihan lingkungan dilakukan bersama. Tempat ibadah pun berdiri berdekatan—masjid, gereja, dan bale adat sarasehan milik komunitas Sunda Wiwitan—sebagai simbol kebersamaan yang nyata.

Di Kampung Susuru, toleransi tidak hanya terlihat saat perayaan keagamaan, tetapi juga dalam momen-momen kemanusiaan. Ketika ada warga yang meninggal, seluruh masyarakat, tanpa memandang agama, ikut hadir mengantar dan menunjukkan belasungkawa. Bagi mereka, nilai kemanusiaan melampaui batas keyakinan.

Sejarah dan Dinamika Kepercayaan

Keberagaman ini memiliki sejarah panjang. Agama Katolik mulai dikenal di Susuru pada tahun 1965, dan gereja pertama dibangun sekitar tahun 1975. Sejumlah warga yang sebelumnya merupakan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan memilih memeluk Katolik, meski kemudian ada juga yang kembali ke ajaran leluhur mereka. Saat ini, sekitar 25 kepala keluarga di Susuru masih memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan.

Menariknya, dalam satu keluarga bisa ditemukan anggota yang memeluk agama berbeda—sebuah potret harmoni yang langka, namun sangat nyata di kampung ini.

Keinginan Gubernur Jawa Barat untuk Berkunjung

Terkesan oleh cerita Kampung Susuru, Kang Dedi menyatakan niatnya untuk datang langsung dan melihat sendiri bagaimana nilai-nilai toleransi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, kampung ini adalah contoh penting bahwa keberagaman bukan hambatan, melainkan kekuatan. Keberadaan Kampung Susuru membuktikan bahwa perbedaan bisa menjadi kekayaan sosial jika dikelola dengan baik. 

Ia pun menegaskan bahwa narasi soal intoleransi di daerah seperti Ciamis perlu diluruskan. “Kata siapa Ciamis intoleran? Ciamis itu justru contoh dari toleransi yang nyata di Indonesia”, pungkas Kang Dedi dalam video yang ia unggah di media sosial.

Semangat toleransi yang hidup di Kampung Susuru dan tercermin dalam langkah-langkah kecil para siswa SMPN 1 Panawangan adalah pengingat bahwa masa depan Indonesia yang damai dan bersatu dapat dimulai dari lingkungan yang menjaga nilai-nilai kebersamaan.

Written By :

Category :

Berita

Posted On :

Share This :